Tanggal 3 november yang lalu kami sekeluarga diundang ke upacara dan resepsi pernikahan seorang kawan lama saya. Tepatnya, si mempelai wanita adalah adik kelas saya ketika saya menempuh pendidikan s2 sekitar hampir 10 tahun yang lalu. Ketika kami masih kuliah, ia beberapa kali berlibur ke Jogja dan selalu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah orang tua saya di Gamelan. Selain itu yang membuat kami lumayan akrab adalah bantuannya yang tak terkira untuk membantu mengedit beberapa bagian thesis saya yang saya kerjakan dengan berdarah-darah waktu itu hehehheee.... Saya masih ingat, bersama satu teman lagi, kami bertiga sering bermalam di apartemennya di dekat kampus, atau tidur di kamar sempit saya di dormitory (bayangkan satu kasur single harus rela untuk tidur 3 orang, bangun pagi rasanya badan udah kayak robot saking kakunya hehehheee...) demi menyelesaikan tulisan saya waktu itu.
Teman ini sebenarnya sudah mencatatkan pernikahannya ke catatan sipil sekitar 2 tahun yang lalu, dan pada awal musim gugur tahun lalu ia melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat menggemaskan. Ayahnya sendiri dalam sambutan di pesta pernikahannya mengucapkan terima kasih yg tak terhingga karena kami mau meluangkan waktu menghadiri pesta pernikahan yang sudah basi. Cukup aneh juga caranya berbasa basi dengan menggunakan istilah tersebut menurut saya. Hehehhee...
Kali ini saya ingin sedikit berbagi, bagaimana sih menghadiri pernikahan di Jepang itu. Apakah sesantai ketika kita menghadiri pernikahan di Indonesia atau malah lebih ribet. Undangan untuk kami sekeluarga sudah datang sejak bulan Agustus, awalnya saya ragu ketika ia meminta saya untuk mengajak anak-anak dan suami, karena disini tidak lazim mengajak anak ke resepsi pernikahan, kecuali sudah dikonfirmasi oleh si pengundang. Kali ini rupanya ada perkecualian, sebab selain karena pasangan ini sudah menikah dan memiliki seorang putri, tampaknya keluarga yang akan hadir pun memang diundang beserta anak-anaknya, sehingga pesta kali ini agak lebih santai daripada pesta-pesta pernikahan yang pernah saya lihat sebelumnya. Hal ini tampak dengan adanya kids corner di pojok ruangan yang berupa karpet dengan beberapa mainan agar anak-anak bisa bermain disitu pada hari H.
Anak-anak di acara pernikahan |
Undangan yang saya terima standar seperti undangan di pernikahan di Indonesia, yang isinya tempat dan waktu diadakannya upacara dan resepsi. Undangan itu juga diberi lampiran peta menuju tempat acara lengkap dengan jalur kereta dan stasiun terdekat yang bisa digunakan. Selain itu juga disertai tulisan agar para tamu tidak menggunakan kendaraan pribadi alias kami harus menggunakan transportasi umum. Hal ini dpat dimaklumi karena disini tidak semua tempat menyediakan fasilitas parkir, dan kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas, sehingga biasanya tamu-tamu menggunakan kereta atau bisa kota untuk menghadiri acara agar tidak mengganggu lingkungan sekitar bila ada yang parkir sembarangan (meski saya meragukan apa ada orang Jepang yang parkir sembarangan dengan sengaja, karena dendanya besar sekali). Selain peta, undangan juga disertai dengan kartu pos yang sudah diberi prangko. Kartu pos ini fungsinya untuk memberi kepastian atau konfirmasi mengenai kehadiran atau ketidakhadiran kita dalam acara itu. Disitu kita harus melingkari pilihan "hadir" atau "tidak hadir". Bila hadir, kita harus menuliskan nama-nama yang hadir di kolom yang telah disediakan di bawahnya. Kartu pos itu harus dikirimkan sebelum batas waktu yang telah ditentukan yang biasanya sudah tertulis di dalam undangan. Kartu pos ini berguna bagi pengundang untuk menghitung dengan tepat berapa jumlah tamu yang akan datang. Dan ini tentu saja berkaitan dengan jumlah kursi sampai konsumsi yang harus disediakan. Upacara pernikahan dan resepsi di Jepang biasanya rata-rata hanya dihadiri sekitar 50 orang. Dan tempat duduk tamu pun sudah ditentukan sesuai dengan kartu nama yang ada di atas meja. Jadi kita tidak bisa asal datang mengajak teman dan duduk di sembarang tempat karena semuanya sudah dihitung dengan pas, tidak kurang tidak lebih. Dengan demikian fungsi kartu pos tadi sangatlah penting sekali.
Karena harus mengikuti upacara di gereja yang diadakan sebelum resepsi mulai, kami berangkat lebih awal. Bukan, bukaaan... tentu saja kedua mempelai sama sekali bukan penganut agama kristen atau katolik. Tetapi di Jepang sudah biasa upacara pernikahan dilakukan di gereje kristen (karena gereja katolik sangat ketat dalam soal pernikahan sehingga tidak ada upacara pernikahan dilaksanakan di gereja katolik kecuali apabila kedua mempelai MEMANG beragama katolik dan SUDAH mengikuti prosedur pernikahan yang telah ditetapkan), karena orang Jepang suka sekali mencampur budaya dan gaya (hampir semua wanita Jepang bermimpi mengenakan gaun pengantin di gereja karena itu dianggap gaya dan anggun). Sambil menunggu agar kami dipersilakan masuk ke gereja, kami beristirahat di lobby dan disuguhi dengan minuman ringan. Di lobby tersebut juga ada meja penerima tamu, dimana kita harus menulis nama, dan menyerahkan amplop tanda kasih kepada petugas yang ada disana. Suasananya miriplah dengan meja penerima tamu di resepsi pengantin di Indonesia, bedanya adalah para petugas sudah memegang daftar nama tamu, dan mereka akan memberi tanda pada nama tamu yang sudah datang setelah menerima amplop kita. Amplop untuk acara pengantin ini juga bukan amplop biasa melainkan amplop yang sudah ditentukan khusus untuk itu. Biasanya bisa dibeli di supermarket, toko alat tulis, atau bahkan mini market terdekat. Harganya bervariasi mulai dari 100 yen sampai 1000 yen tergantung kemewahan kertas dan hiasannya. Kita harus pandai-pandai memilih jenis amplop sesuai dengan isi uang yang kita masukkan ke dalamnya. Disini standar sumbangan per orang untuk acara pernikahan adalah sekitar 30 ribu yen untuk umum dan 10 ribu yen untuk mahasiswa. Bila yang menyumbang adalah atasan atau saudara biasanya lebih banyak lagi.
Setelah selesai di meja penerima tamu, kami segera diminta masuk ke gereja. Gereja itu adalah gereja kristen tua yang indah di daerah Waseda. Gerejanya tidak besar, dan di altar tampak pipe orgel kuno yang amat besar untuk mengiringi petugas koor yang bernyanyi di balkon. Di pintu masuk, kami dibagikan kertas liturgi dan buku nyanyian. Setelah pendeta memasuki gereja kami segera berdiri untuk menyambut mempelai memasuki altar. Acara mengucap janji setia membuat saya teringat ketika saya dan suami saya berjanji untuk saling setia di depan altar gereja kidul loji. Setelah upacara di gereja selesai, pengantin berjalan keluar dan kami mengikuti di belakangnya. Di pintu gereja petugas yang membawa keranjang bunga memberi kami masing-masing segenggam bunga untuk dilemparkan kepada pengantin dalam acara flower shower. Tentu saja yang paling girang adalah anak-anak hehehhe..... Sampai di luar gereja kami pun berdiri di sisi kiri kanan mulai dari pintu gereja sampai halaman luar untuk menyambut pengantin dan menyiramnya dengan bunga ketika melewati kami.
Setelah acara foto bersama selesai kami segera menuju tempat resepsi yang terletak di sebelah gereja. Tempat itu tidak terlalu mewah tetapi sangat nyaman karena berada di dalam taman terbuka dan dikelilingi pepohonan yang cukup rindang untuk ukuran Tokyo.
bersambung....