Sudah lama dan begitu banyak hal yang membuat saya ingin menulis tentang papa, mulai ketika saya pulang ke Jogja selama hampir 3 minggu pada bulan april-mei lalu, momen ulang tahun Wisang dan saya, maupun momen lain selalu menyadarkan saya akan begitu banyak kenangan dan keinginan untuk mengobrol dengan papa. Tetapi karena sering jadi terlalu emosional, akhirnya saya tidak mampu menuliskan satu kalimat pun karena sudah terguguk-guguk di depan komputer bahkan sebelum mulai menuliskannya.
In loving memory of our beloved papa in heaven.
Papa, selamat ulang tahun.
Kalau papa masih ada, hari ini adalah ulang tahunnya yang ke 65 dan pagi-pagi tadi pasti kami sudah saling bertelepon, untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Salah satu warisan papa yang begitu lekat di keluarga kami adalah perayaan ulang tahun. Meski saya menggunakan kata perayaan, ulang tahun tidak selalu identik dengan pesta-pesta mewah di keluarga kami. Bahkan seingat saya kami tidak pernah berlebihan dalam merayakan ulang tahun.
Hari ulang tahun di keluarga kami adalah hari spesial bagi kami semua, bukan hanya spesial bagi yang berulang tahun. Biasanya pagi-pagi buta, waktu mata masih susah dibuka, kedua orang tua saya sudah keluar dari kamarnya menuju kamar kami sambil menyanyikan lagu happy birthday lalu mulai nguyel-uyel yang berulang tahun dan menghujaninya dengan kecupan sayang. Ada suatu masa saya merasa jengkel sekali dengan tradisi ini. Kenapa sih kasih ucapan harus pagi-pagi waktu saya masih enak-enak tidur, pikir saya waktu itu.
Sejak saya bisa mengingat, waktu kami masih kecil, di tengah kesibukannya mama biasa membuat tumpeng dan segala teman-temannya ketika ada anggota keluarga yang berulang tahun. Biasanya saat papa istirahat makan siang dan pulang ke rumah, kami duduk mengitari meja makan menghadap tumpeng dan teman-temannya. Tidak mesti siang hari, kadang-kadang acara itu juga berlangsung saat makan malam. Biasanya papa lah yang memimpin doa, mendoakan yang berulang tahun dengan segala harapan yang baik-baik. Kadang-kadang mama menimpali juga dengan doa sambungan setelah papa selesai. Kalau papa yang berulang tahun, maka mama lah yang akan memimpin doa. Satu hal yang masih saya ingat sampai sekarang, mama selalu tiba-tiba menangis karena terlalu emosional di tengah-tengah doanya. Waktu itu saya belum mengerti kenapa mama selalu jadi agak tersedu-sedu begitu karena waktu itu tampaknya saya konsentrasi penuh pada ayam goreng, puding, atau bahkan kue taart yang ada di meja makan, sambil memikirkan strategi bagaimana urutan makan yang paling menarik (tentu saja saya selalu ingin makan puding atau kue lebih dahulu meskipun itu mustahil! Hehehhee) Sampai sekarang saya tidak pernah tahu mengapa mama begitu emosional, mungkin di tengah-tengah doanya ia teringat perjuangan mereka berdua dalam berumah tangga dengan 4 anak yang bandel-bandel ini.
Kalau tidak makan tumpeng sekeluarga, kadang-kadang orang tua saya mengadakan acara ulang tahun kecil-kecilan untuk kami dengan mengundang tetangga kiri kanan atau teman-teman kami. Tetapi seingat saya, itu hanya ketika kami masih kecil sekali. Menginjak usia SD saya tidak ingat pernah membuat acara ulang tahun lagi dengan mengundang teman. Beberapa kali rasanya kami mengadakan acara ulang tahun di sekolah bersama teman-teman sekelas.
Menginjak SMP papa biasanya memberi sedikit lebih uang saku hari itu untuk sekedar mentraktir teman-teman makan bakso. Di rumah tradisi makan bersama masih tetap berlangsung diselingi dengan makan sekeluarga di restoran favorit keluarga. Tentu saja tradisi menyanyi dan nguyel-uyel si ultah pagi-pagi juga terus berjalan. Saya ingat, semasa SMP banyak teman-teman saya yang mengadakan pesta ulang tahun di rumah pada malam hari dengan dengan acara disko (hahahhah tahun 80-an rasanya semua anak kenal disko deh!). Saya atau adik perempuan saya selalu diantar papa, ditinggal, dan papa akan datang lagi ketika acara hampir berakhir.
Waktu SMA sampai kuliah, karena sudah tidak tinggal dengan orang tua, setiap ulang tahun (lagi-lagi) pagi-pagi buta papa sudah menelepon. Ketika papa sudah pindah ke Cilegon, tak jarang papa menyempatkan pulang ke Jogja untuk sekedar makan bareng merayakan ulang tahun kami. Sejak itu rasanya tradisi tumpengan sudah mulai jarang, biasanya kami makan bersama sekeluarga di restoran. Kadang-kadang tidak sekeluarga saja, tetapi kami mengundang bude-bude, pakde-pakde, sepupu-sepupu untuk makan bersama di restoran yang sudah dipilih.
Setelah kami tinggal terpisah-pisah, biasanya papa paling dulu sms untuk mengingatkan bahwa ada salah satu anggota keluarga kami yang berulang tahun. "Ik, hari ini Ova ulang tahun lho, dah telepon?" Biasanya begitu isi sms nya. Pernah saya berpikir, aduuuuh mana mungkin saya lupa ulang tahun anggota keluarga kami, kenapa sih papa repot-repot mengingatkan. Tetapi kini ini saya mengerti, itulah cinta kasih orang tua kepada anaknya. Setua apa pun, anak tetap anak. Orang tua tetap orang tua yang merasa perlu mengingatkan kami anaknya.
Meskipun tidak harus, kami biasanya menyiapkan kado untuk yang berulang tahun. Kado ulang tahun untuk papa yang sangat berkesan bagi saya adalah sebuah tulisan yang dipigura berwarna biru muda. Saya dan adik perempuan saya yang memilihnya. Meskipun papa tidak pernah bercerita kepada kami, kami tahu tahun itu adalah tahun yang berat bagi papa. Kami memilih tulisan itu untuk saling berbagi kekuatan dan saling menguatkan. Sampai sekarang tulisan berpigura itu masih tergantung manis di rumah mama, dan sampai sekarang pun saya selalu merasa ada yang mengganjal di tenggorokan lalu memecahkan waduk air mata ketika membaca tulisan itu.
Papa, terima kasih sudah mengajarkan betapa ulang tahun adalah sesuatu yang spesial di dalam hidup. Ulang tahun adalah penanda bahwa kita harus berhati-hati menjalani hidup. Harus banyak berbagi kepada saudara dan teman-teman. Terima kasih juga sudah datang ke dalam mimpi pada hari ulang tahunku seminggu yang lalu. Dalam mimpi itu tidak seperti biasanya, meski sekuat tenaga saya berusaha, saya tidak bisa melihat wajah papa, bagi saya yang tampak hanya sepatu. Ya sepatu! Tetapi saya tahu pasti itu sepatu papa yang saya lihat.
Tenang dan damai di surga ya Pa.
Peluk paling hangat dari Ika, Nina, Tommy, Ova
-------
side bar
Seperti yang sudah saya duga, saya tidak bisa menulis tentang papa tanpa merasa sangat emosional. Terus meneteskan air mata, terus merasa kangen sambil terus menulis sampai tanpa saya sadari mata saya sudah begitu bengkak karena terlalu banyak air mata yang menetes dari situ. Di hari papa meninggal, saya pernah berkata kepada seorang sahabat, ditinggal orang tua itu rasanya seperti kehilangan belahan jiwa. Sakitnya tidak tertahankan dan tidak berkurang meski hampir 3 tahun berlalu.
-------
side bar
Seperti yang sudah saya duga, saya tidak bisa menulis tentang papa tanpa merasa sangat emosional. Terus meneteskan air mata, terus merasa kangen sambil terus menulis sampai tanpa saya sadari mata saya sudah begitu bengkak karena terlalu banyak air mata yang menetes dari situ. Di hari papa meninggal, saya pernah berkata kepada seorang sahabat, ditinggal orang tua itu rasanya seperti kehilangan belahan jiwa. Sakitnya tidak tertahankan dan tidak berkurang meski hampir 3 tahun berlalu.
No comments:
Post a Comment