Minggu lalu saya baru kembali dari perjalanan singkat ke Melaka. Bukan perjalanan dalam rangka pekerjaan, melainkan hanya mampir sebentar sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke rumah saya di Tokyo setelah seminggu berada di Jogja. Sejak dulu saya sudah ingin sekali pergi ke Melaka. Saya penggemar sejarah, heritage, museum dan sejenisnya, jadi Melaka tampak seperti surga bagi saya dengan gedung-gedung lawas zaman kolonial dan budaya creol yang khas.
Sebenarnya perjalanan ini diawali dengan sesuatu yang sangat tidak mengenakkan, yaitu pesawat yang akan saya tumpangi dari Jogja ke Kuala Lumpur tertunda keberangkatannya selama 1 jam. Ya, mungkin ini sesuatu yang biasa di Indonesia, tapi bagi saya yang mengejar bus pukul 18.30 ke Melaka, ini lumayan memberi serangan panik sekejap saat itu. Sebenarnya saya sudah memilih penerbangan tercepat dari Jogja ke KL yaitu pukul 14.00, penerbangan berikutnya adalah sekitar pukul 5 sore. Saya perkirakan saya akan tiba di KL pukul 5 waktu setempat, ditambah proses imigrasi dan pengambilan bagasi, sebelum pukul 18.30 saya pasti sudah bisa berada di halte bus Trans Nasional yang akan membawa saya ke Melaka. Karena penundaan penerbangan itu, buyarlah semua rencana yang sudah saya susun rapi sedemikian rupa.
Karena saya tidak suka terburu-buru, apalagi di tempat asing, saya terbiasa merencakan dengan detil segala keperluan saya. Demikian pula kali ini, dalam perjalanan ke Jogja dari Tokyo, saya transit di KL selama kurang lebih 4 jam. Waktu itu saya pergunakan untuk mencari di mana halte bus no.4 tempat bus transnasional berada. Sebelumnya saya sibuk mencari loket tempat menjual tiket bus tersebut, tapi tidak ketemu juga. Ya sudahlah lebih baik saya mencari dulu di mana halte busnya. Sampai di sana, kebetulan ada bus yang baru datang dari Melaka, saya segera menghampiri pengemudinya dan bertanya dimana loket tiket berada. Pengemudi ini masih muda, tapi ia berbicara dengan bahasa Melayu yang sangat medok sekali, sehingga saya perlu beberapa detik untuk mencerna kalimatnya. Ternyata loket tiket bus transnasional ada di dalam bandara untuk penerbangan domestik! Ya ampuuun pantes aja dari tadi gak ketemu loketnya. Singkat kata setelah menemukan loket tiket saya langsung bertanya apakah saya bisa membeli tiket PP Bandara-Melaka untuk bulan Januari (waktu itu masih bulan Desember), dan ternyata boleh. Tiket sekali jalan seharga 21 RM (1 RM= Rp. 3700) jadi segeralah uang 42 RM berpindah tangan ke mbak-mbak yang ada di loket. Saya perhatikan harga tersebut sudah termasuk pelayanan bagasi dsb.
Kembali ke pesawat yang terlambat terbang. Tentu saja saya panik karena pasti saya tidak akan mungkin bisa naik bus ke Malaka yang pukul 18.30, padahal tiket sudah di tangan. Akhirnya setelah menunggu kurang lebih satu jam lebih, pesawat yang akan saya tumpangi datang juga. Hampir setengah 4 sore ketika pesawat lepas landas, dan jam menunjukkan pukul setengah 7 malam ketika pesawat mendarat di KL. Saya cepat-cepat berjalan menuju imigrasi lalu mengambil bagasi setelahnya. Ketika menuju pintu keluar sambil mendorong koper, seorang petugas bertampang galak mencegat saya dan berkata "Where are you from?" Ketika saya jawab Indonesia, dia tampangnya langsung lumer dan mempersilakan saya lewat. Waaah padahal saya sudah deg-degan setengah mati waktu itu. Baru kali ini kata Indonesia manjur, biasanya malah tambah digalakin.
Saya segera menuju terminal domestik dan menemui petugas bus transnasional di loket. Saya katakan bahwa karena pesawat yang saya tumpangi mengalami penundaan saya tidak bisa naik bus pukul 18.30 dan bertanya apakah tiket saya bisa saya pakai untuk naik bus yang sama pukul 20.00. Ternyata tidak bisa! Petugas dengan sopan menjawab "I am sorry mam, we have no relation with the airplane, so you have to buy new ticket." Waduuuuh, terpaksalah saya membeli tiket baru, meski sambil nggrundel bahwa ini bukan salah saya. Mungkin karena melihat wajah saya yang sudah lelah, petugas itu berunding ke atasannya dan kembali ke saya lalu berkata "Mam, we'll give you child price." Hahahahaa..... saya pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tapi sebenarnya harga anak tidak begitu berbeda dengan tiket dewasa, yaitu 18 RM. Tapi tak apalah, itu pun sudah lumayan!
Pukul 20.00 bus transnasional tiba di halte, dan para penumpang sibuk memasukkan koper ke bagasi bus. Saya mengira akan ada petugas bus atau pengemudi yang akan membantu penumpang memasukkan koper ke bagasi karena saya lihat di tiket tertulis harga sudah termasuk layanan bagasi, tetapi ternyata semuanya harus kita kerjakan sendiri! Dari 4 pintu bagasi hanya 2 yang dibuka, sehingga tidak semua barang milik penumpang bisa masuk, tapi supirnya anteng-anteng saja. Saya sudah mulai tidak sabar. Saya geser tas-tas milik penumpang lain dan memaksa koper saya yang seberat 25 kg itu masuk ke bagasi bus. Untunglah ada mas-mas Melayu baik hati yang melihat saya kesusahan mendorong masuk koper saya lalu membantu saya.
Setelah bagasi beres saya cepat-cepat naik ke dalam bus. Seperti bus-bus lain di Malaysia, komposisi tempat duduk adalah 5 deret dari depan adalah tempat duduk dengan masing-maisng dua kursi di kiri dan kanan. Deret di belakangnya semua terdiri dari 1 kursi yang diperuntukkan untuk penumpang yang bepergian sendirian. Saya duduk sendirian di deret ke-6, wah lumayan juga nih, nyaman sendirian jadi tidak perlu merasa kikuk karena bersebelahan dengan orang asing. Eeeeh belum juga bus yang saya tumpangi itu bergerak, mas-mas Melayu yang tadi membantu saya memasukkan kopor yang juga duduk sendiri di sisi diagonal saya mulai mengajak ngobrol, tanya dari mana lah, berapa harga tiket lah, ini lah, itu lah, saya mulai merasa tidak nyaman ketika ia menanyakan nama. Saya cuekin dan segera ambil buku, pura-pura membaca. Tapi baru setengah halaman saya mulai membaca, bus bergerak dan semua lampu dimatikan. Waaaah gagal akting membaca, akhirnya saya pura-pura tidur sambil memperhatikan pemandangan di luar supaya tidak diajak ngobrol lagi oleh si mas kepo itu. Huh!
Tampaknya bus kami terus berada di jalan tol. Sesekali saya melihat perumahan, tapi selanjutnya kebanyakan adalah berupa perkebunan sawit maupun hutan. Hampir pukul 10 malam ketika bus yang saya tumpangi masuk ke terminal Melaka Sentral. Saya mulai dag dig dug lagi. Terminal itu lumayan besar dan bersih tetapi tampak sepi sekali. Toko-toko sudah tutup dan hampir tidak ada orang di tempat bus kami berhenti. Gawat juga nih, pikir saya! Di beberapa situs yang saya baca, kami tidak dianjurkan naik taksi yang ditawarkan di sekitar tempat bus berhenti. Kebetulan ada satu situs berbahasa Jepang yang dengan detil memaparkan di mana letak loket taksi resmi di dalam terminal itu. Tentu saja saya saya sudah hafalkan tempat itu baik-baik supaya tidak terjebak scam yang berkeliaran menyasar orang asing. Tiba di loket taksi, ada satu orang petugas di dalamnya. Ketika saya mengatakan hotel tempat saya menginap dan bertanya berapa tarifnya atau apakah bisa pakai argo. Bapak itu langsung menunjuk salah satu dari beberapa supir taksi yang nongkrong di sekitar loket, dan menyuruh saya langsung nego dengan supir itu. Waduuh! Saya lihat beberapa bule di depan saya pun diperlakukan sama, mereka langsung nego dengan supir taksi yang sudah kongkalikong dengan petugas di loket itu. Hari semakin malam dan terminal pun sepi, tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti supir taksi yang sudah ditunjuk itu. Dia menyebut angka 10 RM ketika saya sebutkan hotel tujuan saya. Saya tidak tahu seberapa jauh hotel itu tapi saya tawar sedikit karena pasti seharusnya tidak sampai segitu kalau menggunakan argo. Supir sok jual mahal dan saya juga sudah lelah, akhirnya saya sepakat dengan harga 10 RM itu. Hotel saya ternyata tidak terlalu jauh. Tapi ya sudahlah tidak apa-apa daripada ketemu scam di negeri asing.
Supir taksi yang membawa saya ke hotel sangat suka bercakap-cakap. Mulai dari tanya dari mana, mau kemana, kenapa sendirian, sampai bertanya kenapa koper saya berat sekali apa sih isinya, katanya! Haduuuh ini orang Melayu semua emang pada kepo ya, pingin tahu urusan orang! Tapi lumayanlah saya agak terhibur dengan kecerewetan bapak itu.
Sampai di hotel, petugas front office melayani saya dengan cepat dan efisien. Saya sudah segera ingin mandi dan merebahkan badan yang terasa sangat penat. Kamar saya lumayan luas dan bersih, standar bintang 3, lumayan lah. Lebih dari cukup untuk tidur sendirian! Segera saya menuju jendela, dan voilaaa ternyata petugas check in berbaik hati memberi saya kamar dengan River View, padahal ketika saya memesan melalui Agoda harga yang saya bayarkan adalah untuk kamar dengan city view. Lucky, pikir saya!! Sungai Melaka tampak mengalir tenang disinari lampu jalan. Ah saya sudah tak sabar lagi menanti esok hari!
bersambung...
seru banget baja perjalanannya
ReplyDeleteElever