Waaaah sudah lama gak ngeblog, berapa tahun ya.... Sampai-sampai blog banyuNwisang.blogspot.com sudah tidak bisa diedit lagi, jadi terpaksa buat lagi yang baru. Hari ini hujan, tidak deras tetapi lumayan basah kalau harus bersepeda mengantar anak-anak sampai ke Hiyoko Hoikuen, sekolah mereka yang berjarak kira-kira 10 menit dari apartemen kecil kami. Biasanya saya tidak pernah kalah dengan hujan atau salju, tapi karena berita tentang hujan asam, pengaruh dari pltn Fukushima yang sedang bermasalah itu sedang ramai-ramainya, maka sejak gempa 10 hari yang lalu saya memutuskan untuk tidak banyak beraktifitas di luar rumah.
Sejak gempa besar tanggal 11 Maret yang lalu, ditambah tsunami di daerah utara dan rusaknya pltn di Fukushima, hampir setiap hari telpon berdering, dan sms berebutan masuk menanyakan kabar, bahkan menyarankan kami untuk pulang dulu karena berita yang beredar di Indonesia seolah-olah Tokyo sudah hampir chaos dan banyak WNI dievakuasi ke Indonesia. Memang banyak yang dipulangkan ke Indonesia, tetapi mereka adalah orang-orang yang langsung terkena dampak tsunami atau berada di daerah radiasi di Fukushima. Kami di Tokyo memang beberapa hari setelah gempa mengguncang sempat mengalami kekurangan bahan makanan, kereta tidak beroperasi dengan baik dan sebagainya. Tapi secara keseluruhan kami masih bisa bertahan dan orang-orang juga beraktifitas seperti biasa.
Hari pertama pemadaman bergilir pada tanggal 14 Maret oleh Tepco mengakibatkan hampir semua kereta tidak beroperasi sepanjang hari. Menurut media, tidak ada desakan dari Tepco untuk menghentikan operasi kereta-kereta di dalam kota Tokyo dan sekitarnya, tetapi mereka berusaha membantu mengurangi pasokan listrik dengan tidak mengoperasikan kereta. Hal ini meyebabkan kebingungan dan penumpukan penumpang. Para pekerja yang biasa berangkat pagi-pagi, terpaksa harus pulang kembali ke rumah karena tidak ada cara untuk mencapai tempat kerjanya selain naik kereta, termasuk suami saya, mas Prima. Orang-orang yang tempat kerjanya dekat, memutuskan untuk jalan kaki atau naik sepeda. Penjualan sepeda melonjak drastis. Bahkan suatu discount shop terkenal mengatakan bahwa omset penjualan sepeda dlm beberapa hari setelah gempa sama dengan omset selama setahun.
Hari itu, karena anak-anak tidak bisa ke sekolah dan mas Prima tidak bisa berangkat kerja, maka kami memutuskan untuk berbelanja ke supermarket Ito Yokado di dekat rumah. Sampai disana, ya ampuuuun antrian di kasir sudah mengular kemana-mana, padahal jumlah kasir lebih dari 10. Rak beras, roti, makanan instan sudah kosong melompong. Tapi untunglah kami masih bisa membeli daging dan beberapa keperluan lain. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang tua murid teman-teman Banyu dan Wisang di sekolah, ternyata mereka juga terpaksa meliburkan diri, dan anak-anak juga tidak bisa ke sekolah karena bagi yang orang tuanya hari itu tidak bekerja, dihimbau agar anak-anak tidak dititipkan di sekolah karena sekolah juga kekurangan bahan makanan untuk anak-anak. Karena supermarket sangat penuh, maka mamanya Sota, salah satu teman Banyu berinisiatif mengajak Banyu, Wisang dan anak-anak lain untuk main di Matsugae Kouen, taman di dekat situ, agar mama-mama yang lain bisa berbelanja dengan tenang. Tasukarimashita!!
Setelah selesai di Ito Yokado, mas Prima pergi mencari tempat yang masih menjual beras di tempat lain, dan saya menjemput anak-anak di taman. Di sana, mama Sota bercerita bahwa pada hari terjadi gempa, ia sedang bekerja di Shinjuku, dan baru bisa pulang jam 2 pagi setelah kereta bisa beroperasi lagi. Sota dititipkan di rumah teman lain, Fujino Riya, di dekat sekolah. Saya jadi teringat hari itu. Saat terjadi gempa saya sedang berada di stasiun Seijougakuen bersama Tika. Kami makan di salah satu restoran di dalam stasiun, dan keluar restoran tepat pukul 14.30. Setelah itu kami menuju ke toko kaca mata di lantai 2. Sedang asik-asiknya melihat kaca mata tiba-tiba rak dan lampu bergoyang-goyang, makin lama makin keras. Kami cepat-cepat berusaha keluar toko tapi petugas sedikit menghalangi sambil berkata tidak apa-apa, berulang kali. Tapi kami yang sudah ketakutan setengah mati langsung berlari keluar dan nekat turun lewat eskalator. Rasanya seperti digoyang-goyang di dalam kotak besar. Bangunan terlihat maju mundur dan bergoyang ke kiri ke kanan. Begitu berhasil turun dan keluar, kami langsung menuju tempat parkiran bis yang terbuka dan berusaha menghubungi sekolah anak-anak kami berulang kali, tapi tidak berhasil. Gempa susulan yang terus datang berulang kali membuat kami gemetar tidak karuan ditambah keadaan bahwa kami belum bisa memastikan bagaimana situasi di sekolah anak-anak. Tidak lama kemudian akhirnya kami bisa juga menghubungi hoikuen anak-anak. Guru di sekolah mengatakan kami harus menjemput anak-anak secepatnya, tapi bagaimana mau menjemput, sedangkan kereta saja tidak beroperasi untuk waktu yang belum ditentukan.
Di tengah suasana kebingungan, ketakutan, ditambah saya masih belum bisa mengubungi mas Prima, seorang teman menawarkan bantuannya untuk menjemput anak-anak. Untunglah anak-anak akhirnya bisa pulang ke rumah teman tersebut. Saya masih bertahan di stasiun berharap kereta segera jalan, tetapi nampaknya keinginan hanya tinggal keinginan. Pukul 5 sore, karena kedinginan yang amat sangat, saya memutuskan masuk ke restoran soba di depan stasiun untuk mengisi perut dan menghangatkan badan. Sayangnya pukul 7 restoran harus tutup, sehingga saya harus keluar lagi. Petugas berkali-kali mengumumkan bahwa belum ada harapan kereta akan jalan lagi, karena petugas di lapangan harus memastikan bahwa rel benar-benar aman untuk dilewati kereta. Pengecekan dilakukan dengan berjalan kaki, dari stasiun awal tempat keberangkatan kereta sampai stasiun akhir. Bila terjadi gempa susulan maka pengecekan diulang lagi dari awal, sehingga memerlukan waktu lama. Awalnya kami tidak diperbolehkan masuk ke lobby kereta, apalagi peron, sehingga kami bertahan berdiri di luar stasiun, disana saya melihat banyak orang-orang tua bertongkat berdiri kedinginan, tapi tidak ada yang bisa kami lakukan. Akhirnya kami boleh masuk ke lobby dan menunggu disana. Saya beruntung bisa dapat tempat duduk untuk menunggu sementara banyak orang harus berdiri. Satu hal yang saya perhatikan adalah meskipun kami menunggu berjam-jam, tetapi tidak ada orang yang duduk lesehan di lantai. Mereka tetap berdiri menunggu sambil berusaha menghangatkan badan. Padahal usia mereka banyak yang sudah tidak muda lagi. Tengah-tengah menunggu sambil terkantuk-kantuk, terdengar pengumuman bahwa alat deteksi gempa telah mendeteksi akan terjadi gempa susulan yang lumayan besar, sehingga kami diperintahkan untuk segera keluar meninggalkan lobby stasiun. Maka berduyun-duyunlah kami keluar dengan tertib. Tidak ada dorong-dorongan, tidak ada saling berebut ingin keluar lebih dahulu, semua antri teratur dan tertib. Sampai di luar, saya melihat antrian di telpon umum (telpon umum secara otomatis langsung gratis dalam keadaan darurat seperti gempa dan sebagainya) juga mengular, begitu juga antrian taksi dan bis ke arah Shibuya. Semua orang antri dengan tertibnya di dalam udara dingin yang menggigit. Ketika kami sudah boleh masuk kembali ke lobby, saya memutuskan untuk berdiri menunggu bersama puluhan orang lain di dalam ruang informasi stasiun yang agak hangat karena dilengkapi dengan pemanas. Berdesak-desakanlah kami berdiri di situ sambil mendengarkan informasi dari petugas yang ada disana. Petugas meski sudah kelelahan tetap sigap dan sopan memberi informasi kepada kami yang juga sama kelelahannya.
Saya masih tetap belum bisa menghubungi mas Prima waktu itu. Hampir jam 10 malam, Tika menelpon dan menawarkan untuk menginap di rumah mertuanya. Meski ragu-ragu saya terima juga tawarannya karena sudah terlalu lelah menunggu. Sampai disana saya mendapat kabar bahwa Wisangi sudah mulai menangis mencari mamanya, aduuuh tambah bingung deh saya. Untunglah sekitar jam 11 lewat, mas Prima menelpon mengabarkan bahwa dia sudah sampai di rumah. Ternyata dia jalan kaki lebih dari 5 jam dari tempat kerjanya sampai rumah. Aduuuh saya lega sekali mendengarnya. Anak-anak sudah lebih tenang karena papanya sudah pulang. Saya memutuskan pulang pagi-pagi keesokan harinya. Pagi itu kereta belum beroperasi normal dan penuh berdesak-desakan. Dari pakaian para penumpang, bisa saya tebak mereka adalah orang-orang yang sama seperti saya, tidak bisa pulang semalaman karena tidak ada kereta dan tidak mungkin jalan kaki sampai rumah. Leganya begitu sampai rumah, ternyata keadaan rumah tidak terlalu parah. Beberapa perabot jatuh dari rak dapur, tetapi tidak ada kerusakan.
Saya tengok anak-anak, mereka tidur masih mengenakan baju yg dipakai di sekolah dan lengkap dengan jaketnya. Kasihan. Gempa terjadi pukul 14.46 yang artinya itu adalah waktu mereka tidur siang, saya lihat anak-anak masih memakai piama yang saya siapkan di sekolah plus jaket tebal musim dingin mereka. Wisang masih memakai piama tipis pendeknya, padahal mereka sempat diungsikan di taman terbuka. Pasti dia kedinginan kemarin dengan piama tipisnya itu meski sudah memakai jaket juga. Kasihan anak-anak. Untunglah mereka tidak trauma dan tampak sehat-sehat hingga saat ini. Banyu bercerita dengan gaya centilnya, waktu gempa dia berusaha keluar dari futon (kasur) nya tapi susah sekali mau berdiri dan berkali-kali jatuh, kepalanya terbentur lantai dan sebagainya. Untunglah anak-anak kecil itu setiap bulan sekali menjalani pelatihan simulasi gempa, sehingga saya yakin mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Begitu banyak pelajaran yang saya ambil dari peristiwa gempa ini. Tidak sedikit teman yang memutuskan untuk pulang sementara waktu sambil menunggu keadaan normal kembali. Antrian pemohon re-entry permit di imigrasi pun setiap hari panjang sampai luber ke luar gedung. Tetapi kami memutuskan bertahan dengan berbagai macam pertimbangan. Mudah-mudahan keadaan segera pulih dan kami bisa beraktifitas normal lagi seperti semula.
Antrian di kantor imigrasi Shinyurigaoka, panjang mengular sampai ke belakang gedung.