Selama beberapa tahun ini, setiap tahun sekali (dan mulai tahun ini 2 kali) setiap bulan Mei atau Juni, saya selalu senewen dengan kunjungan guru ke rumah untuk memantau anak didiknya dan "berakrab-akrab" dengan orang tuanya. Hari ini tanggal 7 Juni saya menerima guru wali kelas Banyu dan tanggal 29 Mei yang lalu saya menerima 2 orang wali kelas Wisanggeni di rumah.
Sebenarnya saya suka dengan program kunjungan guru ke rumah ini, hanya saja yang selalu membuat saya senewen adalah karena saya harus bersih-bersih (baca: bersiiiiih sekali) rumah sampai ke bagian-bagian kecil pun harus saya bersihkan karena saya tidak mau dianggap tinggal di rumah yang kotor. Maklumlah orang Jepang sangat ketat dan mempunyai persepsi yang berbeda mengenai kebersihan daripada kita. Bagi mereka dapur dan kamar kecil adalah tempat yang harus selalu bersih dan wangi. Kerajinan dan kerapian serta kebersihan suatu tempat diukur dari apakah tempat itu kamar kecilnya bersih dan wangi atau tidak. Kalau kamar kecilnya wangi artinya ruang lain pun pasti kebersihannya sudah terjamin.
Jadi pontang-pantinglah saya hari ini menggosok dapur saya dan bagian-bagian yang bisa terlihat dari dapur kami. Untuk informasi ruang dapur di rumah-rumah Jepang biasanya terletak di bagian depan dan jadi satu dengan ruang makan yang sekaligus berfungsi sebagai ruang duduk untuk menerima tamu. Untuk menghindari bau-bauan yang aneh, saya selalu menaruh sekaligus 3 pewangi di pintu masuk (genkan) rumah kami. Selain itu di kamar kecil 2 pewangi dan 1 pewangi lagi di ruang TV. Tak lupa sebelum jam kedatangan wali kelas, saya semprotkan pewangi lavender di sekitar dapur. Satu lagi yang selalu saya pegang adalah, saya tidak akan masak makanan Indonesia apalagi yang mengandung terasi 1 hari sebelum jadwal kunjungan! Efek bau terasi sangat dasyat karena baunya tidak akan hilang berhari-hari meski saya sudah menyalakan exhauster di atas kompor saya dan membuka jendela lebar-lebar.
Pernah suatu hari ketika saya masih kuliah S2 dan tinggal di dormitory untuk mahasiswa asing yang memiliki dapur bersama, saya membuat sambal terasi. Tentu saja terasi saya goreng dan baunya yang sedap itu menguar kemana-kemana. Saat itu saya lupa mengantisipasi bahwa bau terasi goreng itu bisa terbawa angin sampai ke bagian depan yang jaraknya 50 meter dari dapur. Celakanya waktu itu saya tinggal di lantai 1 yang terletak di gedung paling depan (dormitory saya itu terdiri dari 4 gedung utama masing-masing 5 atau 6 lantai saya lupa) dimana kantor pengelola berada. Saya sebenarnya sudah menutup pintu dapur dan jendela rapat-rapat supaya baunya tidak kemana-mana, tetapi apa boleh buat rupanya beberapa orang pegawai penasaran dengan bau yang menusuk itu dan mencari sumbernya. Begitu melihat saya, mereka bertanya "Kamu masak apa kok baunya keras banget begini?" Saya cuma bisa cengar cengir sambil menerangkan kalau terasi itu dibuat dari udang yang difermentasi.
Jadi kembali ke kunjungan guru, selama ini sih kunjungan guru berjalan lancar. Dari day care tempat Wisang dititipkan biasanya guru bertanya kalau di rumah Wisang main apa, kalau libur kemana, kondisi kesehatan dan sebagainya. Guru SD biasanya selain bertanya tentang keadaan si anak di rumah, juga mengabarkan bagaimana sikap si anak di sekolah. Menurut ibu K, wali kelasnya, Banyu dianggap ringan tangan karena suka membantu teman yang bertugas melayani anak-anak makan siang meski itu bukan gilirannya. Selain itu Banyu termasuk dianggap anak yang lumayan daya tangkapnya karena selalu dapat nilai 100 dalam ulangan harian. Oh ya, ulangan harian ini tidak pernah dijadwalkan, jadi selalu ulangan dadakan saja.
Kunjungan guru biasanya tidak berlangsung terlalu lama. Antara 20-30 menit setiap kunjungan. Saya merasa diperhatikan juga dengan adanya kunjungan seperti ini karena kami para orang tua murid (terutama yang bekerja) tidak punya banyak kesempatan untuk berjumpa dengan wali murid karena semua anak harus berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa diantar-jemput oleh orang tuanya, kecuali anak berkebutuhan khusus. Selain guru berkunjung ke rumah murid, kami para orang tua murid secara berkala juga diundang berpartisipasi dalam pada hari open class untuk menyaksikan proses belajar mengajar yang disebut dengan Jugyo Sankan sehingga kami orang tua murid bisa langsung menyaksikan bagaimana anak-anak berinteraksi dengan teman dan gurunya di sekolah.
Sebenarnya saya suka dengan program kunjungan guru ke rumah ini, hanya saja yang selalu membuat saya senewen adalah karena saya harus bersih-bersih (baca: bersiiiiih sekali) rumah sampai ke bagian-bagian kecil pun harus saya bersihkan karena saya tidak mau dianggap tinggal di rumah yang kotor. Maklumlah orang Jepang sangat ketat dan mempunyai persepsi yang berbeda mengenai kebersihan daripada kita. Bagi mereka dapur dan kamar kecil adalah tempat yang harus selalu bersih dan wangi. Kerajinan dan kerapian serta kebersihan suatu tempat diukur dari apakah tempat itu kamar kecilnya bersih dan wangi atau tidak. Kalau kamar kecilnya wangi artinya ruang lain pun pasti kebersihannya sudah terjamin.
Jadi pontang-pantinglah saya hari ini menggosok dapur saya dan bagian-bagian yang bisa terlihat dari dapur kami. Untuk informasi ruang dapur di rumah-rumah Jepang biasanya terletak di bagian depan dan jadi satu dengan ruang makan yang sekaligus berfungsi sebagai ruang duduk untuk menerima tamu. Untuk menghindari bau-bauan yang aneh, saya selalu menaruh sekaligus 3 pewangi di pintu masuk (genkan) rumah kami. Selain itu di kamar kecil 2 pewangi dan 1 pewangi lagi di ruang TV. Tak lupa sebelum jam kedatangan wali kelas, saya semprotkan pewangi lavender di sekitar dapur. Satu lagi yang selalu saya pegang adalah, saya tidak akan masak makanan Indonesia apalagi yang mengandung terasi 1 hari sebelum jadwal kunjungan! Efek bau terasi sangat dasyat karena baunya tidak akan hilang berhari-hari meski saya sudah menyalakan exhauster di atas kompor saya dan membuka jendela lebar-lebar.
Pernah suatu hari ketika saya masih kuliah S2 dan tinggal di dormitory untuk mahasiswa asing yang memiliki dapur bersama, saya membuat sambal terasi. Tentu saja terasi saya goreng dan baunya yang sedap itu menguar kemana-kemana. Saat itu saya lupa mengantisipasi bahwa bau terasi goreng itu bisa terbawa angin sampai ke bagian depan yang jaraknya 50 meter dari dapur. Celakanya waktu itu saya tinggal di lantai 1 yang terletak di gedung paling depan (dormitory saya itu terdiri dari 4 gedung utama masing-masing 5 atau 6 lantai saya lupa) dimana kantor pengelola berada. Saya sebenarnya sudah menutup pintu dapur dan jendela rapat-rapat supaya baunya tidak kemana-mana, tetapi apa boleh buat rupanya beberapa orang pegawai penasaran dengan bau yang menusuk itu dan mencari sumbernya. Begitu melihat saya, mereka bertanya "Kamu masak apa kok baunya keras banget begini?" Saya cuma bisa cengar cengir sambil menerangkan kalau terasi itu dibuat dari udang yang difermentasi.
Jadi kembali ke kunjungan guru, selama ini sih kunjungan guru berjalan lancar. Dari day care tempat Wisang dititipkan biasanya guru bertanya kalau di rumah Wisang main apa, kalau libur kemana, kondisi kesehatan dan sebagainya. Guru SD biasanya selain bertanya tentang keadaan si anak di rumah, juga mengabarkan bagaimana sikap si anak di sekolah. Menurut ibu K, wali kelasnya, Banyu dianggap ringan tangan karena suka membantu teman yang bertugas melayani anak-anak makan siang meski itu bukan gilirannya. Selain itu Banyu termasuk dianggap anak yang lumayan daya tangkapnya karena selalu dapat nilai 100 dalam ulangan harian. Oh ya, ulangan harian ini tidak pernah dijadwalkan, jadi selalu ulangan dadakan saja.
Kunjungan guru biasanya tidak berlangsung terlalu lama. Antara 20-30 menit setiap kunjungan. Saya merasa diperhatikan juga dengan adanya kunjungan seperti ini karena kami para orang tua murid (terutama yang bekerja) tidak punya banyak kesempatan untuk berjumpa dengan wali murid karena semua anak harus berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa diantar-jemput oleh orang tuanya, kecuali anak berkebutuhan khusus. Selain guru berkunjung ke rumah murid, kami para orang tua murid secara berkala juga diundang berpartisipasi dalam pada hari open class untuk menyaksikan proses belajar mengajar yang disebut dengan Jugyo Sankan sehingga kami orang tua murid bisa langsung menyaksikan bagaimana anak-anak berinteraksi dengan teman dan gurunya di sekolah.
wah kalo aku sih malah senang seandainya ada program kunjungan wali kelas ke rumah soale anakku itu lbh takut sama gurunya drpd orangtuanya sih...biar gurunya lihat sendiri betapa anakku suka melanggar perintah orang tuanya, disuruh belajar tetap aja ngegame online...pusinggg, tp emang ribet ya kalo hrs bersih2 lha wong aku jg malas bersih2 jeww...maklum punya anak kecil, sebentar dibersihin, sebentar kotor lagi....capek deh :D
ReplyDeletekeren Er artikele, ayo nulis nang Kompasiana yo ngko tak shareke nang kanca2ku wis...tenan ikie....
Iyaaa Tik aku sakjane yo seneng2 aja dikunjungi tp le kudu resiiiiik kuwi lho, hadeeh. Mereka itu rada freak kl soal kebersihan jadi aku njur senewen hahahha... Soal anak2 angel sinau kuwi neng endi2 podo wae, cuman kl aku masalah main game, pake gadget atau yg lain2 (misalnya ambil ice cream di kulkas) itu aku biasakan sejak kecil gk blh dilakukan tanpa ijin. Jadi HARUS selalu ijin misalnya "mama boleh gak skrg aku pake komputer?" atau "boleh gak makan coklat sekarang?" jadi lama2 smp gede kebiasaan dan untungnya masih pada nurut meski sambil ngedumel kl gak boleh hehehhe.. Tp ya gak tau kl mereka dah lebih besar, seusia anakmu yg pertama, mkn akan lbh sulit ya. Hehhehehe... Kowe usul wae neng gurune ben ngadake kunjungan ke rumah Tik :)
ReplyDelete