Mar 28, 2011

Wisang, Sushi n Jungle Gym

Hari minggu kemarin lumayan cerah meski suhu masih di bawah 10 derajat. Banyu yang hobi berat makan sushi sejak pagi sudah mengultimatum kami bahwa hari itu ia ingin makan di rumah makan sushi langganan. Selesai bersih-bersih rumah, berangkatlah kami bersepeda ke sana. Karena sampai di sana pas waktu makan siang, tempat duduk penuh dan kami harus menunggu sekitar 30 menit. Agar para penunggu tidak bosan, maka di sana disediakan macam-macam buku untuk anak-anak maupun majalah untuk orang dewasa. Banyu dan Wisang segera mengambil buku-buku bacaan dan asik dengan bukunya masing-masing. 



Ikan salmon kesukaan saya


Begitu nama kami dipanggil, kami segera menuju ke tempat duduk yang telah disiapkan. Tempat duduk tersebut berada tepat di samping semacam conveyer belt yang membawa sushi-sushi tersebut berputar  dari satu tempat ke tempat  lain. Kami bisa mengambil apa saja dari atas conveyer belt tersebut, atau memesan sushi melalui touch screen monitor yang ada di setiap meja. Sangat praktis sekali.


Setelah puas menyantap berbagai macam ikan dan seafood, kami pergi ke taman di dekat rumah, Plaza City Park (プラザシティ公園). Disana ada berbagai macam mainan anak-anak dan bangku2 untuk duduk-duduk santai. Banyu dan Wisang paling suka memanjat jungle gym (ジャングルジム)merah yang ada di sana. Wisang sibuk naik turun jungle gym itu dengan Banyu dan Mas Prima, saya lihat tangan kanannya memegang rubik yang dibawanya dari rumah. Saya segera mengingatkannya untuk menaruh dulu rubik itu agar dia bisa memanjat dengan leluasa menggunakan kedua tangannya. Tapi yaaah, seperti biasa Wisang selalu bilang "ii no" yg artinya "gak papa kok" Baru saja saya menutup mulut, tiba-tiba terdengar suara gedebug yang heboh dan dilanjutkan dengan tangisan Wisang yang super keras "Huaaaaaa huaaaaaaa itaaaaaaiiiiiiiii." Ternyata dia jatuh dari atas jungle gym besi itu, dan kepalanya terbentur besi di bawahnya. Jatuh tertelungkup dengan muka menghadap ke bawah bergesekan dengan kerikil di bawahnya pasti sakit untuk anak usia 3 tahun. 


TKP tempat jatuhnya Wisang
Jalan di sebelah taman

Saya segera berlari mendapatkan Wisang, saya lihat pelipis kanannya mengeluarkan darah dan dahinya sudah benjol sebesar buah salak. Hahhaha.... antara kasian, geli, dan sebel sama mas Prima, saya cepat-cepat membersihkan lukanya. Setelah  saya pastikan jari-jari tangannya baik-baik saja, tidak ada yang patah, dia juga tidak muntah maupun pusing, saya ajak dia pulang. "Demo, Wisang wa mada suberidai asonde nai!" (Tapi Wisang belum main prosotan) begitu jawabnya. Ya ampuuuun, muka sudah berdarah-darah, masih pingin main lagi. "Ya udah deh, meluncur sekali trus pulang ya." kata saya.


Wisang dan benjolnya, hihihiii....

Sampai di rumah pun, Wisang tidak mau segera masuk ke rumah. Malah sibuk mengeluarkan sepeda bersama kakaknya. Sehingga saya terpaksa harus berlari-lari kecil untuk memberi betadine dan membersihkan lukanya. Untunglah dia mau, meski sambil menangis teriak-teriak. 
Hehehehe... Wisaaang... Wisang.... ada-ada ajaaaa....















Mar 24, 2011

Satu orang satu ya...

Tadi siang saya pergi ke supermarket di dekat rumah untuk berbelanja sedikit bahan makanan. Mungkin karena hari kerja dan masih siang, maka tidak terlalu ramai disana. Saya perhatikan di rak air minum kemasan, air mineral sudah tidak bersisa, kalaupun ada rasanya tidak sampai 10 botol dan itupun dalam kemasan kecil 100 ml. Akhirnya saya memutuskan membeli mugicha (teh gandum) untuk anak-anak, karena mereka harus membawa bekal air minum setiap hari, dan yang diperbolehkan hanya air putih atau teh gandum. Biasanya kami menggunakan tapwater atau air kran, tapi karena kali ini situasi agak tidak mendukung maka saya memutuskan untuk tidak menggunakan air kran dahulu untuk keperluan makan dan minum, meskipun daerah tempat tinggal kami sampai saat ini belum diumumkan sebagai wilayah yang air kran nya sudah tercemar radioaktif.

Kemarin tanggal 23 Maret, pemerintah mengumumkan bahwa tapwater di 23 distrik di Tokyo dan beberapa kota disekitarnya yang berasal dari tempat penyulingan di daerah utara Tokyo sudah terkontaminasi 210 becquerel yodium -131 radioaktif. Jumlah ini melebihi standar aman yang ditetapkan pemerintah untuk anak usia di bawah 1 tahun, yaitu 100 becquerel. Batas aman untuk orang dewasa adalah 300 becquerel per liter. Pemerintah menghimbau anak di bawah 1 tahun dan ibu yg sedang mengandung agar tidak mengkonsumsi tapwater sampai dinyatakan aman kembali. Oleh karena itu, pemerintah metropolitan Tokyo hari ini mengatakan akan mendistribusikan air mineral kemasan kepada keluarga-keluarga yang memiliki anak usia kurang dari 1 tahun dan ibu hamil.


Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan sehingga banyak orang panik dan memborong air mineral di supermarket terdekat. Banyak supermarket yang mengeluarkan keputusan 1 orang hanya boleh membeli 1 botol air minum. Begitu juga susu dan yoghurt, 1 orang hanya boleh membeli 1 pak. Mi instan yang menjadi primadona sejak gempa tanggal 11 yang lalu juga masih dibatasi pembeliannya, 1 orang hanya boleh membeli 3 buah mi instan. Toilet paper dan tissue pun demikian, 1 keluarga hanya boleh membeli 1 buah. 
 
Rak susu yang hampir kosong, dan tulisan yang memberitahukan bahwa 1 orang hanya boleh membeli 1 pak susu.

Di rak-rak yang lain pun terpasang tulisan yang berisi himbauan agar orang tidak menimbun barang dan membeli sayuran, beras dan bahan pokok lain secukupnya. Himbauan itu digambarkan dengan ilustrasi yang menarik dan mudah dipahami.



Mudah-mudahan situasi segera kembali normal sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan yang lebih luas lagi.

Gempa (lagi)

Pagi ini seperti  biasa saya mengantar Banyu n Wisang ke sekolah. Karena kelas Banyu di lantai 1, saya meminta Banyu untuk langsung masuk ke kelasnya, lalu saya naik ke lantai 2 untuk mengantar Wisang lebih dulu. Baru saja masuk kelas, dan Wisang mulai melepas jaketnya, tiba-tiba lantai bergoyang-goyang dan guru-guru segera membuka semua pintu sambil berteriak "gempa, gempa!" Mereka segera mengambil helm dan mendorong anak-anak ke bawah meja. Anak-anak sepertinya juga sudah mulai terbiasa dengan gempa, sehingga semua langsung sigap dan menurut masuk ke kolong meja tanpa ada yang menangis atau membangkang. Guru-guru juga dengan sopannya kemudian meminta kami para orang tua murid untuk segera berkumpul di tengah ruangan. Gempa masih mengguncang-guncang kami beberapa saat, Wisang, saya lihat tetap tenang meski terbungkuk-bungkuk bersama teman lainnya di bawah meja. Alarm gempa berdering-dering di semua ruangan.

Mar 22, 2011

I miss u

Papa baru apa disana?
Aku kangen, kangen banget setiap hari.
Kadang masih gak percaya papa sudah gak ada, meski aku sudah mengiklaskan papa dan aku yakin papa bahagia disana.
Banyu tadi sebelum tidur ngajak main kuis2an spt biasa, pertanyaanku "mama ga daisuki na hito wa dare da?" Yang artinya, siapa org yang paling mama cintai? Dan dia menjawab dg tepat "yangkung" katanya.
Air mataku selalu menetes setiap malam kalau ingat papa. 36 tahun rasanya terlalu singkat.
Tapi inilah takdir yg harus kita terima semua meski rasanya sulit untuk diterima.
Damai dan tenang disana ya pa. Doakan kami dari sana biar kami bisa hidup dg baik sepertimu.
Miss u so much pa!

Sagamihara 22032011

The earthquake

Waaaah sudah lama gak ngeblog, berapa tahun ya.... Sampai-sampai blog banyuNwisang.blogspot.com sudah tidak bisa diedit lagi, jadi terpaksa buat lagi yang baru. Hari ini hujan, tidak deras tetapi lumayan basah kalau harus bersepeda mengantar anak-anak sampai ke Hiyoko Hoikuen, sekolah mereka yang berjarak kira-kira 10 menit dari apartemen kecil kami. Biasanya saya tidak pernah kalah dengan hujan atau salju, tapi karena berita tentang hujan asam, pengaruh dari pltn Fukushima yang sedang bermasalah itu sedang ramai-ramainya, maka sejak gempa 10 hari yang lalu saya memutuskan untuk tidak banyak beraktifitas di luar rumah.


Sejak gempa besar tanggal 11 Maret yang lalu, ditambah tsunami di daerah utara dan rusaknya pltn di Fukushima, hampir setiap hari telpon berdering, dan sms berebutan masuk menanyakan kabar, bahkan menyarankan kami untuk pulang dulu karena berita yang beredar di Indonesia seolah-olah Tokyo sudah hampir chaos dan banyak WNI dievakuasi ke Indonesia. Memang banyak yang dipulangkan ke Indonesia, tetapi mereka adalah orang-orang yang langsung terkena dampak tsunami atau berada di daerah radiasi di Fukushima. Kami di Tokyo memang beberapa hari setelah gempa mengguncang sempat mengalami kekurangan bahan makanan, kereta tidak beroperasi dengan baik dan sebagainya. Tapi secara keseluruhan kami masih bisa bertahan dan orang-orang juga beraktifitas seperti biasa.


Hari pertama pemadaman bergilir pada tanggal 14 Maret oleh Tepco mengakibatkan hampir semua kereta tidak beroperasi sepanjang hari. Menurut media, tidak ada desakan dari Tepco untuk menghentikan operasi kereta-kereta di dalam kota Tokyo dan sekitarnya, tetapi mereka berusaha membantu mengurangi pasokan listrik dengan tidak mengoperasikan kereta. Hal ini meyebabkan kebingungan dan  penumpukan penumpang. Para pekerja yang biasa berangkat pagi-pagi, terpaksa harus pulang kembali ke rumah karena tidak ada cara untuk mencapai tempat kerjanya selain naik kereta, termasuk suami saya, mas Prima. Orang-orang yang tempat kerjanya dekat, memutuskan untuk jalan kaki atau naik sepeda. Penjualan sepeda melonjak drastis. Bahkan suatu discount shop terkenal mengatakan bahwa omset penjualan sepeda dlm beberapa hari setelah gempa sama dengan omset selama setahun.


Hari itu, karena anak-anak tidak bisa ke sekolah dan mas Prima tidak bisa berangkat kerja, maka kami memutuskan untuk berbelanja ke supermarket Ito Yokado di dekat rumah. Sampai disana, ya ampuuuun antrian di kasir sudah mengular kemana-mana, padahal jumlah kasir lebih dari 10. Rak beras, roti,  makanan instan sudah kosong melompong. Tapi untunglah kami masih bisa membeli daging dan beberapa keperluan lain. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang tua murid teman-teman Banyu dan Wisang di sekolah, ternyata mereka juga terpaksa meliburkan diri, dan anak-anak juga tidak bisa ke sekolah karena bagi yang orang tuanya hari itu tidak bekerja, dihimbau agar anak-anak tidak dititipkan di sekolah karena sekolah juga kekurangan bahan makanan untuk anak-anak. Karena supermarket sangat penuh, maka mamanya Sota, salah satu teman Banyu berinisiatif mengajak Banyu, Wisang dan anak-anak lain untuk main di Matsugae Kouen, taman di dekat situ, agar mama-mama yang lain bisa berbelanja dengan tenang. Tasukarimashita!!


Setelah selesai di Ito Yokado, mas Prima pergi mencari tempat yang masih menjual beras di tempat lain, dan saya menjemput anak-anak di taman. Di sana, mama Sota bercerita bahwa pada hari terjadi gempa, ia sedang bekerja di Shinjuku, dan baru bisa pulang jam 2 pagi setelah kereta bisa beroperasi lagi. Sota dititipkan di rumah teman lain, Fujino Riya, di dekat sekolah. Saya jadi teringat hari itu. Saat terjadi gempa saya sedang berada di stasiun Seijougakuen bersama Tika.  Kami makan di salah satu restoran di dalam stasiun, dan keluar restoran tepat pukul 14.30. Setelah itu kami menuju ke toko kaca mata di lantai 2. Sedang asik-asiknya melihat kaca mata tiba-tiba rak dan lampu bergoyang-goyang, makin lama makin keras. Kami cepat-cepat berusaha keluar toko tapi petugas sedikit menghalangi sambil berkata tidak apa-apa, berulang kali. Tapi kami yang sudah ketakutan setengah mati langsung berlari keluar dan nekat turun lewat eskalator. Rasanya seperti digoyang-goyang di dalam kotak besar. Bangunan terlihat maju mundur dan bergoyang ke kiri ke kanan. Begitu berhasil turun dan keluar, kami langsung menuju tempat parkiran bis yang terbuka dan berusaha menghubungi sekolah anak-anak kami berulang kali, tapi tidak berhasil. Gempa susulan yang terus datang berulang kali membuat kami gemetar tidak karuan ditambah   keadaan bahwa kami belum bisa memastikan bagaimana situasi di sekolah anak-anak. Tidak lama kemudian akhirnya kami bisa juga  menghubungi hoikuen anak-anak. Guru di sekolah mengatakan kami harus menjemput anak-anak secepatnya, tapi bagaimana mau menjemput, sedangkan kereta saja tidak beroperasi untuk waktu yang belum ditentukan.


Di tengah suasana kebingungan, ketakutan, ditambah saya masih belum bisa mengubungi mas Prima, seorang teman menawarkan bantuannya untuk menjemput anak-anak. Untunglah anak-anak akhirnya bisa pulang ke rumah teman tersebut. Saya masih bertahan di stasiun berharap kereta segera jalan, tetapi nampaknya keinginan hanya tinggal keinginan. Pukul 5 sore, karena kedinginan yang amat sangat, saya memutuskan masuk ke restoran soba di depan stasiun untuk mengisi perut dan menghangatkan badan. Sayangnya pukul 7 restoran harus tutup, sehingga saya harus keluar lagi. Petugas berkali-kali mengumumkan bahwa belum ada harapan kereta akan jalan lagi, karena petugas di lapangan harus memastikan bahwa rel benar-benar aman untuk dilewati kereta. Pengecekan dilakukan dengan berjalan kaki, dari stasiun awal tempat keberangkatan kereta sampai stasiun akhir. Bila terjadi gempa susulan maka pengecekan diulang lagi dari awal, sehingga memerlukan waktu lama. Awalnya kami tidak diperbolehkan masuk ke lobby kereta, apalagi peron, sehingga kami bertahan berdiri di luar stasiun, disana saya melihat  banyak orang-orang tua bertongkat berdiri kedinginan, tapi tidak ada yang bisa kami lakukan. Akhirnya kami boleh masuk ke lobby dan menunggu disana. Saya beruntung bisa dapat tempat duduk untuk menunggu sementara banyak orang harus berdiri. Satu hal yang saya perhatikan adalah meskipun kami menunggu berjam-jam, tetapi tidak ada orang yang duduk lesehan di lantai. Mereka tetap berdiri menunggu sambil berusaha menghangatkan badan. Padahal usia mereka banyak yang sudah tidak muda lagi. Tengah-tengah menunggu sambil terkantuk-kantuk, terdengar pengumuman bahwa alat deteksi gempa telah mendeteksi akan terjadi gempa susulan yang lumayan besar, sehingga kami diperintahkan untuk segera keluar meninggalkan lobby stasiun. Maka berduyun-duyunlah kami keluar dengan tertib. Tidak ada dorong-dorongan, tidak ada saling berebut ingin keluar lebih dahulu, semua antri  teratur dan tertib. Sampai di luar, saya melihat antrian di telpon umum (telpon umum secara otomatis langsung gratis dalam keadaan darurat seperti gempa dan sebagainya) juga mengular, begitu juga antrian taksi dan bis ke arah Shibuya. Semua orang antri dengan tertibnya di dalam udara dingin yang menggigit. Ketika kami sudah boleh masuk kembali ke lobby, saya memutuskan untuk berdiri menunggu bersama puluhan orang lain di dalam ruang informasi stasiun yang agak hangat karena dilengkapi dengan pemanas. Berdesak-desakanlah kami berdiri di situ sambil mendengarkan informasi dari petugas yang ada disana. Petugas meski sudah kelelahan tetap sigap dan sopan memberi informasi kepada kami yang juga sama kelelahannya.


Saya masih tetap belum bisa menghubungi mas Prima waktu itu. Hampir jam 10 malam, Tika menelpon dan menawarkan untuk menginap di rumah mertuanya. Meski ragu-ragu saya terima juga tawarannya karena sudah terlalu lelah menunggu. Sampai disana saya mendapat kabar bahwa Wisangi sudah mulai menangis mencari mamanya, aduuuh tambah bingung deh saya. Untunglah sekitar jam 11 lewat, mas Prima menelpon mengabarkan bahwa dia sudah sampai di rumah. Ternyata dia jalan kaki lebih dari 5 jam dari tempat kerjanya sampai rumah. Aduuuh saya lega sekali mendengarnya. Anak-anak sudah lebih tenang karena papanya sudah pulang. Saya memutuskan pulang pagi-pagi keesokan harinya. Pagi itu kereta belum beroperasi normal dan penuh berdesak-desakan. Dari pakaian para penumpang, bisa saya tebak mereka adalah orang-orang yang sama seperti saya, tidak bisa pulang semalaman karena tidak ada kereta dan tidak mungkin jalan kaki sampai rumah. Leganya begitu sampai rumah, ternyata keadaan rumah tidak terlalu parah. Beberapa perabot jatuh dari rak dapur, tetapi tidak ada kerusakan.


Saya tengok anak-anak, mereka tidur masih mengenakan baju yg dipakai di sekolah dan lengkap dengan jaketnya. Kasihan. Gempa terjadi pukul 14.46 yang artinya itu adalah waktu mereka tidur siang, saya lihat anak-anak masih memakai piama yang saya siapkan di sekolah plus jaket tebal musim dingin mereka. Wisang masih memakai piama tipis pendeknya, padahal mereka sempat diungsikan di taman terbuka. Pasti dia kedinginan kemarin dengan piama tipisnya itu meski sudah memakai jaket juga. Kasihan anak-anak. Untunglah mereka tidak trauma dan tampak sehat-sehat hingga saat ini. Banyu  bercerita dengan gaya centilnya, waktu gempa dia berusaha keluar dari futon (kasur) nya tapi susah sekali mau berdiri dan berkali-kali jatuh, kepalanya  terbentur lantai dan sebagainya. Untunglah anak-anak kecil itu setiap bulan sekali menjalani pelatihan simulasi gempa, sehingga saya yakin mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.


Begitu banyak pelajaran yang saya ambil dari peristiwa gempa ini. Tidak sedikit teman yang memutuskan untuk pulang sementara waktu sambil menunggu keadaan normal kembali. Antrian pemohon re-entry permit di imigrasi pun setiap hari panjang sampai luber ke luar gedung. Tetapi kami memutuskan bertahan dengan berbagai macam pertimbangan. Mudah-mudahan keadaan segera pulih dan kami bisa beraktifitas normal lagi seperti semula.

Antrian di kantor imigrasi Shinyurigaoka, panjang mengular sampai ke belakang gedung.