Mar 21, 2013

Salju 2013

Kyaaaaa....

Ternyata ada postingan bulan Januari yang  belum selesai ditulis dan tidak saya publish di antara banyak draft tulisan saya.

Daripada sayang karena sudah terlanjur ditulis, saya terusin aja deh ya.

Bulan Januari salju turun pertama kalinya untuk tahun ini di Tokyo. Lumayan lebat dan menumpuk. Untung hari itu saya tidak ada kegiatan jadi saya tinggal di rumah bersama Wisanggeni sambil memandangi lebatnya hujan salju yang turun dari balik jendela.

397663_10200520000668228_922088080_n.jpg



Keasyikan saya memandangi salju lama kelamaan berubah jadi kekuatiran melihat derasnya hujan salju yang tak kunjung berkurang. Bukan apa-apa. Keesokan harinya saya ada janji pagi-pagi, dan biasanya kalau salju turun lebat dan menumpuk seperti ini, keesokan harinya salju yang lembut seperti es serut ini akan berubah membeku dan menjadi mesin yang membuat orang jadi susah jalan dan terpeleset. Banyak orang yang terpeleset akibat salju beku ini, bahkan sampai mengalami patah tulang. Bila kita berjalan di atas salju yang baru turun memang terasa lembut dan empuk meskipun pasti basah kuyup, tetapi bayangkan saja bila salju itu mengeras menjadi seperti arena ice skating dan kita berjalan di atasnya bukan dengan sepatu khusus ice skating tapi dengan sepatu biasa! Kalau tidak hati-hati pasti terpeleset atau bisa terjembab kan.

306594_10200519999628202_1854962363_n.jpg


Memang ramalan saya menjadi kenyataan. Keesokan harinya, ketika saya membuka pintu apartemen, jalan di depan rumah saya penuh dengan tumpukan salju, jangankan naik sepeda untuk jalan kaki tanpa terpeleset saja butuh teknik khusus. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan kaki mengantar Wisang ke sekolahnya. Wisang sih seperti biasa kegirangan melihat salju dimana-mana, sementara saya stress karena takut terlambat akibat harus jalan timik-timik kata orang Jawa. Hehehee....

76086_10200519997308144_651433979_n.jpg


Dari rumah ke sekolah Wisang naik sepeda kira-kira perlu waktu 10 menit kalau santai-santai mengayuhnya. Sedangkan kalau jalan kaki sekitar 20 menit. Di hari yang bersalju seperti ini, saya membutuhkan waktu 40 menit untuk sampai ke sana. Tas ransel di gendongan, tangan kanan menggandeng Wisang, tangan kiri membawa ransel Wisang dan berbagai keperluannya yang lain. Kami tidak bisa jalan cepat-cepat karena takut terpeleset, jadi saya sudah mengalokasikan waktu jauh lebih cepat daripada biasanya (meskipun demikian saya terlambat 10 menit dari jam janjian saya!). Beberapa kali Wisang dan saya hampir terpeleset, akhirnya Wisang satu kali terjembab di dekat sekolahnya, wah dia hampir menangis karena kesakitan untung cepat lupa sakitnya karena melihat para guru sibuk menuangkan air panas untuk mencairkan salju yang membeku agar anak-anak tidak terpeleset. Saya mengagumi kerja keras para guru itu, bahkan kepala sekolah pun turun tangan ikut sibuk menyirami salju di depan sekolah.

735197_10200514164762334_29253272_n.jpg
Salju beku yang sudah disiram air panas

Dari sekolah Wisang saya harus jalan kaki lagi selama lebih dari 30 menit ke stasiun. Waaah hari itu rasanya capek sekali karena harus selalu menjaga keseimbangan agar tidak jatuh, tapi senang juga karena bisa melihat salju untuk pertama kalinya di tahun ini!

Flu Burung, Tamiflu, Bronkitis dan Alergi Pollen

Waduh lamaaaanya saya gak nulis di sini saking sibuknya dengan penelitian dan kerjaan yang gak ada habisnya. Niat dan ide nulis buanyaaaak, tapi sering-seringnya mau nulis udah teler duluan karena rata-rata kerjaan rumah dll baru selesai dengan kata lain saya baru bisa duduk setelah jam 12 malam, hehhee...

Minggu lalu saya baru sembuh dari avian flu alias flu burung (B型インフルエンザ). Awalnya yang kena flu ini Banyu. Setiap musim dingin, di sini memang selalu mewabah avian flu, baik itu yang tipe A yaitu yang ditularkan dari binatang ke manusia, maupun yang tipe baru yaitu tipe B yang ditularkan dari manusia ke manusia. Setiap musim dingin udara sangat kering sehingga mempercepat penyebaran virus ini. Setiap tahun sekali pada bulan November saya selalu mengimunisasi anak-anak saya dengan dengan imunisasi avian flu tipe campuran A dan B dan selama ini hasilnya memang manjur sekali. Meskipun di TK anak-anak pada saat peak hampir 75 persen anak terkena avian flu, mereka tidak pernah ketularan. Namun entah kenapa tahun ini Banyu ketularan dari sekolahnya. Mungkin karena di SD anaknya lebih banyak dan kontrolnya tidak seketat di TK. Kalau di TK anak dengan suhu tubuh di atas 37.5 sudah tidak diperbolehkan masuk sekolah sehingga memperkecil penularan antar teman.

attachment.jpg
Banyu sampai cekikikan nemu tulisan perusahaan obat dari Amerika yang
namanya BANYU di ruang tunggu dokter anak
Sejak awal Februari hampir setiap hari saya sudah menerima email pemberitahuan bahwa ada kelas yang ditutup selama 4 hari akibat banyaknya murid yang terkena avian flu, dalam bahasa Jepang ini disebut gakkyu heisa (学級閉鎖). Awalnya hanya satu kelas, lama kelamaan bisa tiga atau empat kelas, bahkan lebih, yang ditutup alias diliburkan selama 4 hari. Saya sudah deg-deg an aja setiap ada email masuk dari sekolah Banyu, jangan-jangan kelas Banyu yang akan diliburkan. Bukan apa-apa, terus terang saya bingung kalau Banyu harus libur sampai 4 hari. Karena libur akibat wabah avian flu ini artinya si anak juga tidak boleh datang ke tempat penitipan karena berpotensi menulari teman lainnya. Bagi yang memiliki eyang, tante, om atau sodara sih tidak masalah, tapi bagi saya ini masalah besar, karena tidak mungkin meninggalkan Banyu di rumah seharian. Banyu memang sudah biasa saya latih untuk tinggal sendiri di rumah alias jaga rumah, tapi biasanya untuk jangka waktu yang pendek, paling lama 2 jam. Kalau lebih dari itu saya selain tidak tega juga sebenarnya tidak terlalu dianjurkan meninggalkan anak di bawah usia kelas tiga SD di rumah tanpa pengawasan. 

Tanggal 26 Februari saya ditelpon oleh tempat penitipan di sekolah Banyu sekitar pukul setengah empat. Guru yang bertugas mengatakan bahwa Banyu suhu tubuhnya tinggi sehingga harus dijemput secepat mungkin. Guru itu juga berkata bahwa sahabat terdekat Banyu, yaitu Risa positif terkena avian flu sehingga kemungkinan besar Banyu juga kena flu ini karena mereka selalu main bersama. Saya panik seketika membayangkan kemungkinan Banyu kena avian flu! Karena avian flu baru bisa terdeteksi setelah panas tinggi minimal 24 jam maka sore itu saya sengaja tidak membawa Banyu ke dokter langganan kami dan hanya memberinya obat turun panas. Badannya memang panas sekali dan dia kelihatan lemas. Pipinya sampai merah padam menahan panas tubuhnya. Sore itu juga Banyu saya isolasi di satu kamar, dan kami bertiga selalu mengenakan masker meski berada di dalam rumah.

attachment.jpg

Keesokan harinya ketika pagi hari saya menelepon ke dokter, kami dianjurkan untuk datang sore hari saja supaya panasnya genap 24 jam, jadi saya membawa Banyu ke dokter itu sekitar pukul 4 sore. Sampai di sana kami langsung diisolasi di ruang tertentu agar tidak menulari pasien lain, dan Banyu segera dites apakah ia terkena avian flu atau hanya flu biasa. Baru kali ini saya melihat cara dokter mengetes pasien suspect avian flu. Dokter memasukkan semacam cotton bud ke dalam hidung untuk mengambil cairan yang ada di pangkal hidung. Kami menunggu hasil pemeriksaan itu kira-kira 15 menit lalu dokter mengatakan bahwa Banyu memang positif terkena avian flu. Kami mendapat Tamiflu dan beberapa obat untuk batuk dan pilek juga. Tamiflu ini obat keras dengan berbagai efek samping seperti halusinasi, insomnia, sariawan, dan sebagainya sehingga pemakaian pada anak-anak harus selalu dalam pengawasan orang tuanya. Karena berfungsi membunuh virus dan mencegah penyebarannya, tamiflu harus dikonsumsi oleh penderita avian flu dalam waktu 48 jam sejak demam pertama. Apabila lebih dari itu, maka tamiflu tidak akan berfungsi apa pun di dalam tubuh.

312318_10200884123291066_2020176590_n.jpg
Tamiflu untuk anak-anak berbentuk puyer
Sesampai di rumah segera saya menelepon ke sana kemari untuk membatalkan janji dan beberapa pekerjaan saya, karena sudah jelas saya tidak bisa keluar rumah meninggalkan Banyu minimal untuk lima hari ke depan. Anak yang terkena avian flu di larang pergi sekolah minimal selama 5 hari. Dan biasanya baru boleh sekolah 3 hari setelah demam terakhir dengan membawa surat yang menerangkan sejak kapan ia demam, berapa derajat demam tertinggi, dan sebagainya. Surat itu adalah semacam formulir yang dibagikan oleh sekolah kepada kami para orang tua murid saat wabah influenza terjadi.

Mungkin karena Banyu sudah saya imunisasi, dia lumayan cepat recovery dan segera sehat kembali setelah 3 atau 4 hari. Hanya saja karena obatnya semua berbentuk puyer maka setiap waktu minum obat saya selalu seperti bersiap-siap mau perang. Apalagi tamiflu sangat pahit dan lumayan banyak takarannya. Segala macam cara minum obat saya coba, awalnya Banyu muntah mungkin karena rasa pahitnya, tetapi lama kelamaan dia sudah pintar menyiasati rasa pahit di mulutnya.

Hari jumat sore tanggal 1 Maret saya sudah merasa sangaaaaat tidak enak badan. Badan saya rasanya sangat pegal dan pusing pun tak kunjung hilang. Hari itu belum ada demam, tetapi hari sabtu tanggal 2 Maret, saya bangun dengan sedikit demam dan sakit tenggorokan serta batuk yang lumayan hebat. Karena hari itu saya ada janji, saya cepat-cepat mandi, dan saya merasa saya akan sakit karena saya merasa kedinginan hebat. Kebetulan saya alergi serbuk bunga (pollen) yang hebat dengan gejala mata sangat gatal, meler seperti orang pilek dan pusing, jadi saya kira alergi saya sedang menghebat hari itu. Tapi anehnya kok rasanya persendian saya pegal dan ada demam ya, saya langsung curiga bahwa saya sudah ketularan Banyu. Saya segera membatalkan janji dan pergi ke dokter di dekat rumah. Dan setelah melewati serangkaian tes, saya dinyatakan positif terkena avian flu jenis yang sama dengan Banyu. Waaaaah saya panik berat! Bagaimana tidak, hari itu tanggal 2 Maret, sedangkan tanggal 6 Maret saya harus terbang ke Bangkok untuk presentasi di Konfrensi Internasional. Matiiii deh, rasanya saya gak mungkin berangkat dengan kondisi seperti ini. 

549923_10200916583742557_255269119_n.jpg
Tamiflu yang bikin saya gak bisa tidur berhari-hari
Meskipun sudah mengkonsumsi tamiflu dan obat turun panas, rasanya tiap hari kondisi saya semakin buruk. Demam sama sekali tidak turun selama lima hari. Bayangkan lima hari berturut-turut demam tinggi sampai 39 derajat. Rasanya saya tidak sanggup turun dari tempat tidur. Kondisi ini diperparah dengan pilek dan batuk yang hebat. Mungkin karena saya tidak imunisasi jadi kondisi sakitnya tidak seringan Banyu. Hari-hari pertama saya masih sanggup makan seperti biasa, hari berikutnya saya lemah dan sakit lambung (mungkin akibat obat yang terlalu banyak dan keras) sehingga saya hampir tidak bisa makan, padahal dianjurkan banyak makan agar kondisi tubuh bisa normal kembali. Selain itu saya tersiksa dengan efek samping tamiflu, sebagian mulut saya terkena sariawan hebat sehingga saya semakin tidak bisa makan dan saya terserang insomnia berat. Selama lima hari praktis saya setiap harinya hanya bisa tidur selama 3 jam, itu pun dengan mimpi atau halusinasi yang gak jelas. Anehnya meskipun hanya tidur 3 jam saya sama sekali tidak merasa ngantuk atau pusing, hanya badan terasa lemah karena demam yang begitu tinggi. Awalnya saya tidak menyadari bahwa ini adalah efek samping tamiflu sampai dokter mengatakan demikian. Rasanya kapoooook mengkonsumsi obat keras seperti tamiflu itu, mengerikan!

Di tengah sakit yang hebat saya harus menelpon ke sana kemari untuk membatalkan keikutsertaan saya dalam konfrensi internasional di Bangkok, membatalkan tiket pesawat yang sudah saya bayar, mengembalikan segala macam subsidi dari kampus dan foundation penyandang dana melalui bank, dan sebagainya. Untunglah banyak teman yang gak bosan menyemangati saya dan meyakinkan saya kalau setelah lima hari demam pasti akan turun. Dan memang hari ke enam demam sudah tidak datang lagi. Pilek juga jauh berkurang tetapi batuk masih tetap parah. Karena avian flu yang berkepanjangan biasanya disertai efek samping pneumonia atau bronkitis, maka ketika saya cek ke dokter lagi, ia menyarankan saya untuk dironsen mengingat batuk saya yang tidak kunjung sembuh. Untungnya paru-paru saya dinyatakan bersih meski dokter berkata bahwa saya terkena bronkitis. Ya ampuuun seumur hidup baru sekali deh dinyatakan ke bronkitis. Akhirnya saya pulang menenteng obat yang buanyaaaak untuk menyembuhkan bronkitis saya. Meski demam sudah turun, rasa lemas masih belum hilang, rasanya masih capek sekali. Untungnya hari ke tujuh saya mulai bisa tidur normal, mungkin karena efek tamiflu sudah hilang dari tubuh saya.

Karena sudah mulai pulih saya lalu pergi ke dokter lain untuk memeriksakan alergi saya yang sangat hebat ini. Saya sudah tidak tahan dengan mata yang super guataaaaaal, hidung yang meler dan air mata yang keluar padahal tidak sedang menangis. Karena saya belum pernah dicek alergi maka dokter menyarankan saya cek alergi, jadi disuntiklah lengan kiri saya untuk diambil darahnya, hiiiiii saya pingin teriak ketakutan rasanya kalau gak gengsi saat itu! Dokter memang memvonis saya alergi serbuk bunga dari pohon sugi, dan lagi-lagi saya membawa pulang segepok obat alergi dari klinik. Obatnya terdiri dari tiga jenis, obat semprot hidung untuk mengurangi peradangan di hidung, obat berupa pil 2 jenis, dan obat tetes mata khusus alergi. Saya tidak menyangka obat-obat itu sangat manjur sekali karena biasanya obat Jepang tidak sekuat obat Indonesia jadi suka kurang bereaksi di tubuh saya! Setelah saya minum obat dan memakai tetes mata serta obat semprot itu reaksi alergi terhadap serbuk bunga jauuuuuh berkurang. Rasanya kembali jadi manusia normal yang tidak sibuk kucek-kucek mata sepanjang waktu, hehehhe...

Ah mudah-mudahan setelah ini tidak ada penyakit-penyakit yang datang kepada kami. Gara-gara sakit ini tumben banget saya 2 minggu penuh ada di rumah, bisa istirahat tanpa lari ke sana kemari. Mungkin memang ini caraNya mengingatkan saya bahwa tubuh saya pun perlu istirahat. Mulai minggu ini saya siap beraktivitas lagi, dan memang dua minggu libur membuat beberapa hal jadi terbengkalai, jadi saya harus mulai tancap gas lagi untuk penelitian dan lainnya!!