Nov 17, 2011

A Sit In On Court

(Setelah hanya berupa draft yang terbengkalai selama seminggu, ide untuk tulisan ini pun sudah terbang entah kemana........)


Kemarin hari senin tanggal 7 November 2011, saya berkesempatan mengikuti persidangan di Pengadilan Tinggi Tokyo. Kunjungan tersebut adalah kunjungan pertama saya ke pengadilan yang terletak di daerah Kasumigaseki, yang merupakan pusat pemerintahan di tengah kota Tokyo. Gedung pengadilan berlantai 13, tampak angkuh dan dingin membuat kami semua merasa gugup memasukinya. Di lobby depan kami disambut pemeriksaan barang bawaan dengan x ray detektor seperti yang ada di bandara. Selain itu, kami juga harus melewati pintu detektor yang sudah tersedia untuk memastikan kami tidak membawa barang-barang berbahaya. Lobby di sana cukup luas, dan ada beberapa kursi yang bisa diduduki sambil menunggu waktu persidangan.

Karena kami datang jauh lebih awal daripada waktu persidangan yang telah ditentukan, tadinya kami bermaksud untuk duduk di lobby, tetapi seorang kolega menyarankan kami untuk langsung naik ke lantai 8 dimana ruang persidangan berada karena ternyata di sana pun disediakan ruang tunggu untuk umum. Begitu sampai di lantai 8 kami disambut pengumuman yang berisi larangan menyalakan ponsel, alat perekam suara maupun video. Kami lalu menuju ruang tunggu dan duduk disana sambil mengobrol dan bertukar gosip (hehehehe.... wanitaaa... sama aja dimana-mana... )

Persidangan akan dimulai pukul 2.30, sehingga 10 menit sebelumnya kami cepat-cepat masuk ke ruang yang telah ditentukan. Sekilas di papan pengumuman yang ada di dekat ruang itu saya melihat ada jadwal persidangan yang memuat masing-masing waktu persidangan, nama terdakwa beserta kasus-kasusnya. Ruang persidangan tidak begitu luas kira-kira cukuplah untuk menampung 30 orang peserta. Ruangan itu super bersih dan teratur meski tetap tampak angkuh (minimal bagi saya). Ketika kami masuk, di ruangan itu sudah ada 2 orang jaksa, 1 orang pengacara, 1 orang penterjemah (karena yang akan disidang adalah WNI yang tidak bisa berbahasa Jepang), dan 1 orang hakim. Ketika waktu menunjukkan tepat pukul 2.30 hakim pemimpin persidangan masuk ke ruangan dan kami dipersilakan berdiri untuk memberi hormat.

Tak lama kemudian, masuklah si mas WNI yang akan menjalani persidangan dengan tangan diborgol dan pinggang dililit tali diiringi 2 orang petugas polisi. Satu orang petugas memegang tali yang terlilit di pinggangnya dan seorang lainnya memegang pundaknya dan menggiring ke tempat duduk yang telah disediakan bagi terdakwa. Agak berbeda dengan tempat duduk terdakwa di ruang sidang di Indonesia, disini terdakwa diperkenankan untuk duduk di kursi yang terletak di hadapan hakim HANYA ketika ia dipanggil untuk menjawab pertanyaan. Selain itu, misalnya ketika Jaksa membacakan dakwaan dan sebagainya, terdakwa duduk diapit kedua polisi yang mengiringinya di sebuah bangku panjang yang ada di sisi lain menghadap ke kedua orang  jaksa di depannya.

Begitu si mas WNI masuk ke ruangan, rasanya saya tak sanggup untuk melihatnya berlama-lama. Terus terang selama ini hidup saya jauh dari kekerasan, dan hanya melihat seseorang diborgol dan ditarik tali yang terlilit di pinggangnya sudah membuat saya jatuh iba seiba-ibanya. Apalagi si mas yang berambut gondrong itu tampak lugu dengan bahasa Indonesia logat Jawa pedalaman yang cukup membuat kami merasa punya solidaritas kedaerahan yang sama. Saya tahu dan sadar sesadar-sadarnya bahwa ia telah melanggar hukum keimigrasian Jepang karena menggunakan paspor palsu untuk memasuki negara ini hampir 7 tahun yang lalu, dan tentu saja setelah visanya yang entah palsu atau asli itu juga habis, ia tetap berada di Jepang secara tidak sah. tetapi bagaimanapun juga saya membayangkan bagaimanakah perasaannya ditangkap di negara orang dengan kemungkinan dibui, pasti berat.

Dari tanya jawab dengan hakim, saya mengerti bahwa si mas yang ternyata lulusan sebuah IKIP ini mendapatkan paspor palsunya dari seorang broker yang menawarinya bekerja di Jepang setelah ia sibuk kesana kemari mencari pekerjaan tetapi tidak ada satupun yang didapatnya. Setelah masuk ke Jepang, ia lalu menetap di daerah Ibaraki dan bekerja di lahan pertanian disana sampai tertangkap sekitar akhir Oktober lalu. Awalnya Jaksa menuntut agar ia dijatuhi hukuman bui selama 2 tahun, tetapi setelah pengacara (yang menurut saya wajah, gaya dan penampilannya lebih mirip mafia daripada pengacara) mengajukan keringanan dengan dalih si terdakwa masih muda dan selama 7 tahun berada di Jepang belum pernah melakukan kejahatan, maka hukuman 2 tahun itu pun berubah menjadi hukuman deportasi dengan hukuman percobaan 2 tahun dan ia dilarang masuk Jepang selama 4 tahun. Bila setelah 4 tahun ia masuk ke Jepang dan tertangkap melakukan kejahatan apapun itu, maka ia akan segera dibui selama 2 tahun.

Setelah persidangan selesai, saat itu juga diadakan serah terima si mas dari pihak kepolisan kepada pihak imigrasi untuk perosedur kepulangannya. Dengan demikian si mas segera terbebas dari borgol dan tali pinggang yang menyerupai rantai anjing piaraan bagi saya. Mudah-mudahan si mas saat ini sudah berada di tengah keluarganya. Saya masih ingat ia menjawab akan berkebun bila pulang nanti ketika hakim bertanya apa rencananya setelah pulang. Si hakim yang tidak mengerti realita tentang Indonesia tampak bingung, mengapa seseorang yang mempunyai ijazah dari IKIP kok mau-maunya berkebun alias bertani dan bukannya mengajar.

Hari itu dalam perjalanan pulang di dalam kereta saya banyak merenung. Si mas tadi hanya fenomena gunung es dan di luar sana masih banyak teman-teman senegara atau bahkan sedaerah yang bergulat dengan hidup melalui ketidaksahannya di negara orang. Ini salah siapa ya....


Pengadilan Tinggi Tokyo
(Wikipedia)

No comments:

Post a Comment